Islam di kerajaan Cirebon
Published Selasa, 22 April 2014 by Fatwa Lingga W in
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kerajaan islam yang
ternama di Jawa Barat. Kerajaan ini berkuasa pada abad ke 15 hingga
abad ke 16 M. Letak kesultanan cirebon adalah di pantai utara pulau
jawa. Lokasi perbatasan antara jawa tengah dan jawa barat membuat
kesultanan Cirebon menjadi “jembatan” antara kebudayaan jawa dan Sunda.
Sehingga, di Cirebon tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu
kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun
kebudayaan Sunda.
Pada awalnya, cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki
Gedeng Tapa. Demikian dikatakan oleh serat Sulendraningrat yang
mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda. Lama-kelamaan cirebon
berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang diberi nama caruban.
Diberi nama demikian karena di sana bercampur para pendatang dari
beraneka bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat.
Karena sejak awal mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah
nelayan, maka berkembanglah pekerjaan nenangkap ikan dan rebon (udang
kecil) di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam.
Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon
ini berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air rebon), yang
kemudian menjadi cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya Alam dari
pedalaman, cirebon menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara
jawa. Dari pelaburan cirebon, kegiatan pelayaran dan perniagaan
berlangsung antar-kepulauan nusantara maupun dengan bagian dunia
lainnya. Selain itu, tidak kalah dengan kota-kota pesisir lainnya
Cirebon juga tumbuh menjadi pusat penyebaran islam di jawa barat.
Al kisah, hiduplah Ki gedeng Tapa, seorang saudagar kaya di pelabuhan
Muarajati. Ia mulai membuka hutan, membangun sebuah gubuk pada tanggal 1
Sura 1358 (tahun jawa), bertepatan dengan tahun 1445 M. Sejak saat itu,
mulailah para pendatang menetap dan membentuk masyarakat baru di desa
caruban. Kuwu atau kepala desa pertama yang diangkat oleh masyarakat
baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai pangraksabumi atau
wakilnya, diangkatlah raden Walangsungsang. Walangsungsang adalah putra
prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, putri Ki
Gedeng Tapa. Setelah ki gedeng alang-alang meninggal walangsungsang
bergelar Ki Cakrabumi diangkat sebagai Kuwu pengganti ki Gedeng
Alang-alang dengan gelar pangeran Cakrabuana.
Ketika kakek ki gedeng Tapa meninggal, pangeran cakrabuana tidak
meneruskannya, melainkan mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk
pemerintahan cirebon. Dengan demikian yang dianggap sebagai pendiri
pertama kesultanan Cirebon adalah pangeran Cakrabuana (…. – 1479).
Seusai menunaikan ibadah haji, cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman,
dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana
pakungwati, serta aktif menyebarkan islam.
Pada tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana digantikan oleh keponakannya.
Keponakan Cakrabuana tersebut merupakan buah perkawinan antara adik
cakrabuana, yakni Nyai Rarasantang, dengan Syarif Abdullah dari Mesir.
Keponakan Cakrabuana itulah yang bernama Syarif Hidayatullah (1448 –
1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama sunan
Gunung Jati, atau juga bergelar ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba
Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatura Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Cirebon yang pesat dimulai
oleh syarif Hidayatullah. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti
kesultanan cirebon dan banten, serta menyebar islam di majalengka,
Kuningan, kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif
Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan
pimpinan tertinggi kerajaan Islam cirebon. Pada mulanya, calon kuat
penggantinya adlah pangeran Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu
syarif hidayatullah. Namun, Pangeran dipati carbon meninggal lebuh
dahulu pada tahun 1565.
Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat
istana yang memegang kenali pemerintahan selama syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunung Jati melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut adalah
Fatahillah atauFadillah Khan. Fatahillah kemudian naik tahta, secara
resmi menjadi sultan cirebon sejak tahun 1568.
Naiknya Fatihillah dapat terjadi karena dua kemungkinan pertama, para
sultan Gunung Jati, yaitu Pangeran Pasarean, pangeran Jayakelana, dan
pangeran Bratakelana, meninggal lebih dahulu, sedangkan putra yang masih
hidup, yaitu sultan Hasanuddin (pangeran Sabakingkin), memerintah di
Banten berdiri sendiri sejak tahun 1552 M. Kedua, Fatahillah adalah
menantu Sunan Gunung Jati (Fatahillah menikah dengan Ratu Ayu, putri
sunan Gunung Jati), dan telah menunjukkan kemampuannya dalam memerintah
Cirebon (1546 – 1568) mewakili Sunan Gunug Jati. Sayang, hanya dua tahun
Fatahillah menduduki tahta Cirebon, karena ia meninggal pada 1570.
Sepeninggal Fatahillah, tahta jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati,
yaitu pangeran Emas. Pangeran emas kemudian bergelar panembahan ratu I,
dan memerintah cirebon selama kurang lebih 79 tahun. Setelah panembahan
ratu I meninggal pada tahun 1649, pemerintahan kesultanan Cirebon
dilanjutkan oleh cucunya yang bernama pangeran Karim, karena ayahnya
yaitu panembahan Adiningkusumah meninggal dunia terlebih dahulu.
Selanjutnya, pangeran karim dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu II
atau panembahan Girilaya.
Pada masa pemerintahan Panembahan Girilaya, Cirebon terjepit di
antara dua kekuatan, yaitu kekuatan Banten dan kekuatan mataram. Banten
curiga, sebab cirebot dianggap mendekat ke mataram. Di lain pihak,
mataram pun menuduh cirebon tidak lagi sungguh-suingguh mendekatkan
diri, karena panembahan Girilaya dan Sultan Ageng dari banten adalah
sama-sama keturunan pajajaran.
Kondisi panas ini memuncak dengan meninggalnya panembahan Girilaya
saat berkunjung ke Kartasura. Ia lalu dimakamkan di bukit Girilaya,
Gogyakarta, dengan posisi sejajar dengan makam sultan Agung di Imogiri.
Perlu diketahui, panembahan Girilaya adalah juga menantu Sultan Agung
Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan meninggalnya panembahan Girilaya,
Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yakni para putra
panembahan Girilaya di tahan di mataram.
Dengan kematian panembahan Girilaya, terjadi kekosongan penguasa.
Sultan ageng tirtayasa segera dinobatkan pangeran Wangsakerta sebagai
pengganti panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan
ageng tirtayasa pun kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk
membantu trunajaya, yang pada saat itu sedang memerangi Amangkurat I
dari mataram. Dengan bantuan Trunajaya, maka kedua putra penembahan
Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan, dan dibawa kembali ke
Cirebon. Bersama satu lagi putra panembahan Girilaya, mereka kemudian
dinobatkan sebagai penguasa kesultanan Cirebon.
Panembahan Girilaya memiliki tiga putra, yaitu pangeran murtawijaya,
pangeran Kartawijaya, dan pangeran wangsakerta. Pada penobatan ketiganya
di tahun 1677, kesultanan cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga bagian
itu dipimpin oleh tiga anak panembahan Girilaya, yakni :
1. Pangeran Martawijaya atau sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677 – 1703)
2. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723)
3. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan gelar
pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677 –
1713)
Perubahan gelar dari “panembahan” menjadi “sultan” bagi dua putra
tertua pangeran girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab,
keduanya dilantik menjadi sultan Cirebon di Ibukota banten. Sebagai
sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton
masing-masing. Adapun pangeran wangsakerta tidak diangkat sebagai
Sultan, melainkan hanya panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan
atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron),
yaitu tempat belajar para ilmuwan keraton.
Pergantian kepemimpinan para sultan di cirebon selanjutnya berjalan
lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798 – 1803). Saat
itu terjadilah pepecahan karena salah seorang putranya, yaitu pangeran
raja kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan
nama kesultanan Kacirebonan.
Kehendak raja kanoman didukung oleh pemerintah belanda yang
mengangkatnya menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. namun belanda
mengajukan satu syarat, yaitu agar putra dan para pengganti raja Kanoman
tidak berhak atas gelar sultan. Cukup dengan gelar pangeran saja. Sejak
saat itu, di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu
kesultanan Kacirebonan. Sementara tahta sultan Kanoman V jatuh pada
putra Sultan Anom IV lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803 –
1811).
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah kolonial belanda pun semakin
ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga peranan istana-istana
kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya semakin surut.
Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, ketika kekuasaan
pemerintahan kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan
pengesahan berdirinya Kota Cirebon.
Sumber : http://edywitanto.wordpress.com/sejarah-perkembangan-pemikiran-dan-peradaban-islam/sejarah-masuknya-islam-ke-indonesia/islam-di-kerajaan-cirebon/
0 Comment:
Posting Komentar